2/23/2010

Keegoisan

Hujan turun saat saya sedang di angkot dan angkot berhenti ketika seorang anak kecil dan ibuknya menyetop angkot.
anak : "Aduh buk hujan deras banget" (mengangkat kakinya hendak naik ke angkot"
ibuk : "ehhh tunggu diam dulu, ibuk dulu yang naik" (marah marah)
Alhasil ibuk itu naik duluan dan si anak terakhir naiknya.
Masalah sepele memang tapi sungguh membangkitkan treyuh dan mengusik hati nurani saya. Ibuk yang mestinya memastikan anaknya baik-baik saja, bahkan dalam segala hal anak selalu didahulukan. Teori itu sangat bertolak belakang dengan kenyataan yang ada, ibuk yang notabene tidak mau basah karena hujan harus mengorbankan anaknya yang kecil menjadi basah untuk dirinya. Egois. Sungguh? Mungkin iya. Sama seperti saya sekarang, banyak hal yang saya pikir itu egois ternyata menurut pelaku keegoisan, sayalah yang egois. Menurutnya, saya harus pulang dulu ke rumah untuk menghidupkan lampu teras setelah saya pulang kerja jam 5 sebelum saya berjumpa dengan dia di Soekarno Hatta secepatnya. Saya bekerja di Taman Sari, rumah saya di Djunjunan, saya harus bertemu dia Soekarno Hatta dalam waktu yang singkat, dan saya tidak punya kendaraan pribadi beda dengan dia yang punya segala fasilitas pribadi. Bayangkan! Salahakan jika saya sebut itu egois? Uang makan yang memang sungguh sudah habis, sedangkan dia yang sudah berpenghasilan, tidak mau mencoba untuk memberi makan dirinya sendiri dengan uangnya. Darimana saya dapat uang untuk memberinya makan makanan Padang dan makanan enak lainnya? Salah jika saya sebut egois? Tak hanya itu, jika saya urutkan keegoisan yang saya dapat dari dia, mungkin akan menjadi sebuah buku. Mestinya berlaku sesuai dengan apa yang kita punya dan ssebagai siapa kita. Tak layak disebut ibuk jika mengorbankan anaknya untuk kesenangan sendiri. Ibuk macam apa itu. Tak salah jika orang menginginkan kakak lain dalam keluarganya jika kakaknya snediri tidak bisa diharapkan dan selalu merasa diri benar dan tidak EGOIS.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar